Ketika
menyaksikan Paskibra pada LPBB IX yang diadakan SMAN 2 Bekasi Sabtu lalu (14/3) di
GOR Bekasi, saya jadi teringat masa-masa Paskibra saya di sekolah. Saya
mengenal Paskibra sejak masa penataran (masa orientasi sekolah), dimana
sebagian besar para senior Paskira yang menjadi pembimbing kami ketimbang para
pengurus OSIS. Paskibra, yang pada awalnya hanya sebagai Pasukan Pembawa
bendera, berperan besar dalam menggembleng siswa baru. Cara-cara Paskibra
diterapkan tanpa bullying; makan dengan
waktu yang ditentukan, minum dengan botol yang sama, baris-berbaris, dampratan,
push up, bahkan tamparan sepatu.
Saya
terpilih sebagai Paskibra sekolah dengan pertimbangan tubuh tinggi dan wajah
lumayan (tampan), dan yang lain terpilih karena menawan. Meski demikian tidak
ada diskriminiasi masalah fisik, karena seleski sebenarnya datang dari prilaku dan konsistensi.
Di masa-masa latihanlah intensitas setengah militer ditingkatkan, dan kami
punya cukup otot untuk mengantisipasi tawuran. Kami juga suka dengan morning jokes, dimana kami menampilkan
lawakan-lawakan sebelum latihan.
Ada dua seragam harian yang harus kami punya; Pakaian Dinas Harian (PDH) hitam putih dan Pakaian Dinas Latihan (PDL) dengan handuk good morning, sementara hanya seragam putih-putih yang dipakai untuk lomba. Beberapa teman sengaja membuat bagian bawah celana lebih lebar (bukan cutbray) supaya lebih terlihat elegan saat melangkah. Berada dalam barisan Paskibra cukup membanggakan. Selain dispensasi tidak ikut kelas karena latihan atau kegiatan lain, kami tampil gagah dibalik pakaian PDH (seperti pilot). Demo baris-berbaris patah-patah dengan teriakan “satu-dua-satu-dua” kami bisa membuat lutut lawan gemetar. Jarak 5 km defile ditempuh dengan gerakan mantap dan konsisten, ribuan pasang mata masyarakat mengawasi seolah kami tidak boleh membuat kesalahan. Ya, sungguh menyenangkan mengingat masa-masa itu.
Ada dua seragam harian yang harus kami punya; Pakaian Dinas Harian (PDH) hitam putih dan Pakaian Dinas Latihan (PDL) dengan handuk good morning, sementara hanya seragam putih-putih yang dipakai untuk lomba. Beberapa teman sengaja membuat bagian bawah celana lebih lebar (bukan cutbray) supaya lebih terlihat elegan saat melangkah. Berada dalam barisan Paskibra cukup membanggakan. Selain dispensasi tidak ikut kelas karena latihan atau kegiatan lain, kami tampil gagah dibalik pakaian PDH (seperti pilot). Demo baris-berbaris patah-patah dengan teriakan “satu-dua-satu-dua” kami bisa membuat lutut lawan gemetar. Jarak 5 km defile ditempuh dengan gerakan mantap dan konsisten, ribuan pasang mata masyarakat mengawasi seolah kami tidak boleh membuat kesalahan. Ya, sungguh menyenangkan mengingat masa-masa itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar