Mungkin di suatu
waktu di masa kecil Anda, teman perempuan Anda pernah mengatakan dia beruntung
menjadi seorang perempuan karena tidak akan pernah merasakan sakitnya dikhitan.
Tapi, Anda malah menjawab bahwa Anda lebih beruntung karena tidak akan pernah
melahirkan. Sungguh, jika Anda memang benar, lalu kenapa tidak ada yang mau
dikhitan dua kali sementara para wanita bisa melahirkan berkali-kali?
Saat menghadiri acara khitanan yang diadakan Gabungan Alumni
Lintas Angkatan SMAN 2 Bekasi (Galaxi) pada Sabtu kemarin (21/3) tidak tampak
kegundahan dari wajah anak-anak. Meja khitan dan dokter yang menanti masih
belum terbayang saat mereka masih asik menyaksikan acara pembukaan. Mereka
terhibur dengan penampilan seorang da’I cilik, marawis dan pertunjukan dongeng.
Wajah-wajah itu masih sangat muda, lebih mudah dari angkatan saya saat dikhitan
lebih dari dua puluh tahun lalu. Waktu itu rata-rata usia seorang anak dikhitan
adalah sekitar 7-11 tahun, bahkan di daerah tertentu, seorang anak baru dikhitan
ketika menginjak masa SMP atau SMA. Bisa dibilang perubahan itu memang datang
dari kesadaran beragama para orang tua, apalagi ditunjang dengan kemajuan ilmu
medis yang bisa mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan.
Masa
dikhitan jadi waktu yang paling diingat anak laki-laki. Mereka mengenang rasa
sakitnya sekaligus kebahagiaan saat mendapatkan uang. Namun, meski khitan bukan
penanda akil baligh, anak yang sudah dikhitan akan lebih percaya diri ketimbang
yang belum. Hal inilah yang patut dipelihara para orang tua supaya mengingatkan
anak mereka bahwa ada perbedaan antara sebelum dan sesudah dikhitan. Perbedaan
itu tentu saja bukan hanya masalah fisik. Nilai-nilai agama dan sopan santun
harus lebih sering diajarkan. Sama halnya saat orang tua kita berkata kepada
kita di waktu kecil, “Ingat, Nak. Kamu sudah disunat. Sudah besar. Harus rajin sholat.”
Nah, nasehat tersebut dalam arti lain di masa dewasa kita saat ini, mengingatkan
kita untuk tidak meng-khitan anggaran (korupsi).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar